Sedekah Bumi, Aanganan atau Nyadran merupakan salah satu tradisi lokal Jawa yang telah dilaksanakan secara turun temurun. salah satu sumber menyebutkan aktivitas budaya ini telah ada sejak penyebaran Islam oleh wali songo di tanah Jawa. disebutkan Sunan Kali jaga yang menyebarkan Islam dengan media wayang mengadakan pagelaran wayang kulit di tengah-tengah masyarakat guna mengajak masyarakat bersyukur atas berkah berupa hasil bumi yang melimpah dan mampu mencukupi kehidupan masyarakat. Sementara sumber lain menyebutkan kalau aktivitas ini merupakan tradisi khas asli Jawa yang telah ada jauh sebelum era wali sanga. Tujuan digelarnya acara ini hampir sama dari masa ke-masa. Hanya saja, tata caranya berbeda, sesuwai dengan kepercayaan dan kebiasaan masyarakat pada era tersebut.
Tradisi berkumpul, berdoa dan makan bersama di punden desa (sumur, makam, tempat sakral desa, dll). Tempat dan hari yang dipakai untuk pelaksanaan acara ini biasanya adalah tempat dan hari khusus yang sangat terkait dengan sejarah serta budaya desa setempat.
Tata cara serta bentuk acarapun berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan desa setempat. ada yang dengan pagelaran wayang, ketoprak, tayup, pengajian agama sampai orkes dangdut. acara-acara tersebut dimaksudkan untuk menarik warga agar mau berkumpul di tempat yang telah ditentukan untuk selanjutnya melaksanakan acara utama, yaitu memanjatkan sukur pada Tuhan YME dan diakhiri dengan makan bersama.
kegiatan sedekah bumi, nyadran atau manganan ini adalah sedikit dari tradisi Jawa yang masih bisa bertahan di era sekarang. kalau di pesisiran biasanya ada sedekah laut, maka di daerah-daerah agraris ada sedekah bumi.
tradisi-tradisi ini sudah menjelma menjadi identitas dari desa, bahkan di beberapa daerah, perantau memilih pulang kampung bukan saat lebaran melainkan, saat sedekah bumi.
Sedekah bumi sebagai ekspresi budaya
Sedekah bumi, nyadran atau, manganan bukan lagi sebuah tradisi yang tertutup. keberadaanya telah menjelma jadi suatu etintas budaya yang sangat luas dan mampu menembus berbagai berbagai sub sosial dalam masyarakat. mungkin hanya saat sedekah bumi seorang kepala desa atau tokoh terkemuka kampung bisa makan satu daun dengan siapa saja. Tanpa melihat status sosialnya. Hanya di sedekah bumi pula pemabuk, penjudi dan santri bercengkrama akrab tanpa membawa identitas masing-masing. dari sedekah bumi, desa mengajarkan kita tentang kemanusiaan, tentang kesetaraan, tentang ketidak rakusan dan, rasa sukur yang bukan hanya sekedar ucapan kosong di mulut.
Banyangkan bila dalam satu daun pisang yang digelar sebagai alas makanan, disampingnya duduk seorang pembesar dan warga yang paling miskin di desa tersebut, itu bukan persoalan untuk tetap makan bersama dengan tangan telanjang. Saling lahap dan akarab. di sinilah cerminan dari orang Jawa yang guyup dan bersahaja, benar-benar dapat kita saksikan, bahkan dapat pula kita alami bersama.
Salam guyup dari Plumpang
*/Bambang Budiono.